PEMBUATAN
KULTUR ALGA DAN ISOLASI ALGA TERPILIH
LAPORAN
PRAKTIKUM FIKOLOGI
Oleh:
Nama :
Didin Puspitasari
NIM :
121810401084
Kelompok :
3
JURUSAN
BIOLOGI
FAKULTAS
MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS
JEMBER
2015
BAB
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Alga atau ganggang merupakan tumbuhan yang belum memiliki akar, batang, dan daun yang sebenarnya,
tetapi sudah memiliki klorofil sehingga bersifat autotrof. Alga hidup
ditempat-tempat yang berair, baik air tawar maupun air laut dan tempat-tempat
yang lembab. Alga atau ganggang merupakan sumber daya nabati sebagai bahan
kebutuhan hidup manusia. Alga
(jamak Algae) adalah sekelompok organisme autotrof yang tidak memiliki organ
dengan perbedaan fungsi yang nyata. Alga bahkan dapat dianggap tidak memiliki
“organ” seperti yang dimiliki tumbuhan (akar, batang, daun, dan sebagainya).
Karena itu, alga pernah digolongkan pula sebagai tumbuhan bertalus (Bold dan
Wynne, 1978).
Menurut (Rasyid, 2004) bahwa ada beberapa macam pigmen yang terdapat
pada alga, diantaranya adalah fikosianin = warna biru, xantofil = warna kuning,
karoten = warna keemasan, fikosantin = warna pirang, fikoeritrin = warna merah.
Berdasarkan perbedaan pigmen tersebut, alga dibedakan menjadi empat divisio,
yaitu Chlorophyta (alga hijau), Chrysophyta (alga keemasan), Phaeophyta (alga
pirang), dan Rhodophyta (alga merah).
Pengetahuan tentang alga saat ini
telah berkembang pesat setelah beragam jenis alga dengan karakteristiknya
masing-masing berhasil dikultur. Menurut Bardach (1972) Kultur alga merupakan upaya produksi
biota organisme perairan melalui penerapan teknik domestikasi hingga
pengelolaan usaha yang berorentasi ekonomi. Pada praktikum kali ini dilakukan
teknik pembuatan media kultur alga dan isolasi alga terpilih yang berguna dalam
budidaya alga selain itu dapat dijadikan penelitian lebih lanjut.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas dapat
diambil rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana teknik pembuatan media buatan
untuk kultur alga?
2.
Bagaimana teknik isolasi alga terpilih (mono culture)?
1.3 Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah
sebagai berikut:
1.
Mahasiswa mampu membuat media buatan untuk
kultur alga
2.
Mahasiswa mampu melakukan isolasi alga terpilih
1.4 Manfaat
Melalui
praktikum ini diharapkan mahasiswa dapat mengetahui teknik - teknik pembuatan
media untuk kultur alga dan teknik isolasi alga hingga didapatkan kultur murni
atau mono culture. Dengan demikian juga hasil dari praktikum ini dapat disimpan
sebagai inventarisasi laboratorium yang dapat dimanfaatkan sebagai penelitian
lebih lanjut.
BAB 2. HASIL DAN PEMBAHASAN
2.1
Hasil
Hari
|
Intensitas 10.000 lux
|
Intensitas 5.000 lux
|
Ke - 2
|
||
Ke - 4
|
||
Ke - 6
|
||
Ke - 8
|
2.2
Pembahasan
a.
Pembuatan Kultur Alga
Kultur alga merupakan
hasil isolasi alga yang dikulturkan atau ditumbuhkan dalam kedaan aseptic (Isnansetyo
dan Kurniastuty, 1995). Untuk melakukan kultur alga ini harus digunakan alat,
bahan, dan lingkungan yang steril. Metode kultur murni yang digunakan dalam
praktikum ini yaitu mono culture. Kultur ini dilakukan dengan pemindahan isolat
secara berkala pada media baru sehingga disebut juga sebagai metode subkultur.
Metode subkultur adalah suatu metode mengisolasi mikroalga. Metode ini dapat
digunakan jika mikroalga yang kita inginkan bukan mikroalga yang dominan. Pembuatan
kultur alga menggunakan alat dan bahan yaitu: alumunium foil, lux meter, 250 ml
gelas ukur, lampu
TL 100 watt, pupuk NPK, AMDK, autoklaf dan erlenmeyer 1 liter.
Prosedur awal pembuatan media kultur
alga yaitu dengan sterilisasi alat. Erlenmeyer disumbat dengan kapas dan
ditutup dengan aluminium foil kemudian disterilkn di autoklaf. Sebanyak 750 ml
Pocari Sweat dituang ke 2 erlenmeyer ukuran 1000 ml. Tambahkan pupuk NPK nutrien tambahan sebanyak 0,33 gram dan
dihomogenkan dengan menggoyang erlenmeyer. Nitrogen berperan dalam
pembentukan sel, jaringan, dan organ tanaman. Fosfor merupakan komponen
penyusun beberapa enzim, protein, ATP, RNA, dan DNA (Erdina et al.,2010). Sebanyak 50
ml air yang mengandung alga dituang ke masing-masing erlenmeyer. Secara
aseptis, ujung erlenmeyer disumbat dengan kapas dan ditutup dengan aluminium
foil dan diletakkan di bawah penyinaran lampu TL. Kultur pertama pada 5.000 lux
dan kultur kedua pada 10.000 lux. Kultur dilakukan selama seminggu dan diamati
pertumbuhannya.
Dalam pembuatan media
kultur perlu diperhatikan beberapa hal untuk keberhasilannya yaitu:
kontaminasi, produksi yang tidak konsisten, kuantitas dan kualitas. Selain itu
faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap laju pertumbuhan dan
metabolisme alga yaitu:
1. Salinitas
Kisaran salinitas yang berubah-ubah dapat mempengaruhi
pertumbuhan mikroalga. Beberapa mikroalga dapat tumbuh dalam kisaran salinitas
yang tinggi tetapi ada juga yang dapat tumbuh dalam kisaran salinitas yang
rendah. Namun, hampir semua jenis mikroalga dapat tumbuh optimal pada salinitas
sedikit dibawah habitat asal. Kisaran salinitas yang paling optimum untuk
pertumbuhan mikroalga adalah 25-35‰ (Gunawan. 2010).
2. Derajat Keasaman (pH)
Kisaran pH untuk kultur alga biasanya antara 7-9,
kisaran optimum untuk alga laut berkisar antara 7,8-8,5. Secara umum kisaran pH
yang optimum untuk kultur mikroalga adalah antara 7–9. Semakin tinggi kerapatan
sel pada medium kultur menyebabkan kondisi medium kultur meningkat tingkat
kebasaannya (pH semakin tinggi) dan hal itu menyebabkan peningkatan CO2
terlarut dalam medium kultur (Rostini, 2007).
3. Suhu
Secara umum suhu optimal dalam kultur mikroalga berkisar antara 20oC
– 24oC. Suhu dalam kultur diatur sedemikian rupa bergantung pada
media yang digunakan. Suhu di bawah 16oC dapat menyebabkan kecepatan
pertumbuhan turun, sedangkan suhu diatas 36oC dapat menyebabkan
kematian karena suhu merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi
pertumbuhan mikroalga. Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses kimia,
biologi dan fisika, peningkatan suhu dapat menurunkan suatu kelarutan bahan dan
dapat menyebabkan peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi mikroalga di
perairan (Sachlan, 1982).
4. Karbondioksida
Karbondioksida (CO2) merupakan
faktor yang penting yang mempengaruhi pertumbuhan dan metabolisme mikroalga. Semakin
tinggi konsentrasi gas CO2 maka semakin besar pula pembentukan biomassa yang
terjadi. Gas CO2 diserap oleh mikroalga dan digunakan untuk proses biofiksasi
menghasilkan biomassa. Karbondioksida diperlukan oleh mikroalga untuk
memenbantu proses fotosintesis. Karbondioksida dengan kadar 1-2% biasanya sudah
cukup digunakan dalam kultur mikroalga dengan intensitas cahaya yang rendah.
Kadar karbondioksida yang berlebih dapat menyebabkan pH kurang dari batas
optimum sehingga akan berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroalga (Panggabean,
2007).
5. Nutrien
Faktor pembatas untuk mikroalga adalah N dan P. Hal ini disebabkan karena
dengan penambahan nutrient, mikroalga
memperoleh tambahan makanan untuk pertumbuhannya sehingga dapat
mempersingkat waktu kultivasi mikroalga. Perbandingan pemberian nutrient (C : N
: P) sangat mempengaruhi pertumbuhan mikroalgae. Pada pemberian nitrat yang
berlebih pada medium kultur mikroalga menyebabkan pertumbuhan mikroalga 2 kali
lebih cepat yaitu 6 hari dibandingkan dengan medium tanpa nutrient yang
membutuhkan waktu 13 hari (Rostini, 2007).
6. Aerasi
Aerasi dalam kultivasi mikroalga digunakan dalam proses pengadukan media
kultur. Pengadukan sangat penting dilakukan bertujuan untuk mencegah terjadinya
pengendapan sel, nutrien tersebar dengan baik sehingga mikroalga dalam kultur
mendapatkan nutrien yang sama, mencegah sratifikasi suhu, dan meningkatkan
pertukaran gas dari udara ke media (Sachlan, 1982).
7. Cahaya
Cahaya berperan penting dalam pertumbuhan mikroalga,
tetapi kebutuhannya bervariasi yang disesuaikan dengan kedalaman kultur dan
kepadatannya. Pada kondisi gelap, mikroalga tidak melakukan proses sintesa
biomassa melainkan mempertahankan hidupnya dengan cara melakukan respirasi sel
sehingga medium kultur menjadi jenuh oleh senyawa karbonat yang tidak
dimanfaatkan mikroalga. Hal ini menyebabkan pengurangan proses transfer gas CO2
ke dalam medium kultur (Wijanarko et
al.,, 2007). Namun pada akhirnya antara kondisi terang maupun gelap
menghasilkan produksi biomassa yang konstan karena CTR (Carbon Transfer Rate)
pada umumnya memiliki nilai yang tinggi pada awal masa pertumbuhan dimana
konsentrasi das CO2 di dalam medium kultur masih di bawah ambang kejenuhan,
sehingga gas CO2 lebih mudah larut dalam medium kultur. Selain itu, kenaikan
jumlah sel yang sangat besar mempertinggi penyerapan gas yang terlarut dalam
bentuk HCO3- oleh mikroalga. CTR kemudian akan cenderung menurun seiring dengan
waktu karena terjadinya ketidaksetimbangan antara peningkatan jumlah sel dengan
besarnya biofiksasi CO2 yang mengakibatkan produksi biomassa menjadi konstan
kemudian menurun. Intensitas cahaya yang baik untuk
pertumbuhan mikroalga adalah sekitar 3.000-30.000 lux (Graham, 2000).
Pada praktikum ini kelompok kami tidak mendapatkan
hasil. Hal ini disebabkan oleh media yang digunakan yaitu AMDK dengan merk
dagang Pocari Sweat. Setelah dikulturkan, alga tidak tumbuh. Mikroba yang
tumbuh yaitu jamur pada permukaannya. Setelah dikaji, kandungan Pocari Sweat
yaitu mengandung banyak asam. Seperti yang diketahui, alga memiliki kisaran pH tertentu
untuk tumbuh yaitu sekitar 7-9. Sementara Pocari Sweat kandungan asamnya yang
terlalu tinggi menyebabkan alga gagal tumbuh. Fungi memiliki kemampuan tumbuh
pada tempat yang cenderung asam, sehingga pertumbuhan fungi menekan pertumbuhan
alga. Oleh karena itu, media diganti dengan media berupa AMDK Pristine. Setelah
itu, alga kembali dikulturkan dan untuk kemudian diisolasi.
b. Isolasi Alga Terpilih
Kultur alga terdapat
dua macam yaitu unialgal dan axenic. Unialgal merupakan kultur yang berisi satu
jenis alga, biasanya dapat pula berupa populasi klonal dengan berbagai mikroba
yang lain berupa bakteri, protozoa, dan jamur. Sedangkan axenic merupakan
kultur yang berisi satu jenis alga tanpa adanya mikroba lain seperti bakteri
dan protozoa. Ada 4 jenis teknik kultur alaga, yaitu metode gores (streaking),
semprot (spraying), serial pengenceran dan isolasi sel tunggal. Teknik
streaking dan spraying digunakan untuk mendapatkan alga sel tunggal, alga
koloni, atau alga filamen yang dapat tumbuh di atas permukaan agar. Teknik yang
sering digunakan adalah teknik semprot dan isolasi sel tunggal.
Dalam praktikum ini kami menggunakan teknik isolasi sel tunggal
atau mono culture. Isolasi dilakukan dengan menggunakan pipet. Dengan bantuan
mikroskop, ujung pipet yang telah disterilisasi dengan alkohol diarahkan ke
salah satu sel alga dalam media cair di cawan petri. Setelah sel alga dan ujung
pipet terlihat di bawah mikroskop, sel alga tersebut dihisap secukupnya
sehingga masuk ke ujung pipet. Sel alga kemudian diteteskan ke cawan petri baru
yang steril. Alga yang ada di tetesan tersebut dicuci dengan beberapa seri
tetes media steril (5-10 tetes). Setelah dicuci, alga dipindahkan ke multiwell
plate yang berisi media tumbuh cair. Umumnya dilakukan lebih dari satu kali
isolasi untuk mendapatkan klon alga yang bebas dari kontaminasi jenis alga
lain.
Hasil yang diperoleh selama praktikum kultur dan isolasi alga,
yaitu jenis alga Chlamydomyxa lubrynthuloides.
Gambar 1.
Chlamydomyxa lubrinthuloides
Klasifikasi
Chlamydomyxa lubrinthuloides :
Kingdom : Protista
Phylum : Protozoa
Class : Sarcodina
Genus : Chlamydomyxa
Spesies : Chlamydomyxa
lubrynthuloides
Chlamydomyxa
adalah alga heterokontophyta
yang hidup di Sphagnum
dan tanaman air lain
sebagai aplanospores atau plasmodia. Chlamydomyxa labyrinthuloides berdasarkan
komposisi pigmen menunjukkan
berkelompok dengan phaeophytes, raphidophytes dan chrysophytes. Urutan
gen SSU rRNA
dan rekonstruksi filogenetik yang jelas menunjukkan
bahwa Chlamydomyxa labyrinthuloides berkaitan dengan chrysophytes.
Dalam plasmodia
(multinukleat amuba) tidak kontraktil vakuola yang dominan ditemukan.
Sebaliknya banyak vakuola kecil yang hadir bersama-sama dengan banyak butiran.
Kloroplas berbentuk cakram terletak di bagian tengah sitoplasma, dan coklat
kekuningan di bawah cahaya tinggi dan kehijauan-coklat di bawah kondisi cahaya
rendah. Ukuran plasmodia bervariasi dari 15 mm sampai 180 mm. Divisi plasmodia
dimulai oleh penyempitan sitoplasma, memberikan kesan dumbbell seperti.
Fitur morfologis tidak tegas menempatkan Chlamydomyxa dalam
chrysophytes. Struktur amoeboid atau plasmodioid sebagai panggung utama dalam
sejarah kehidupan terlihat baik di Chrysamoebae atau Myxochryidae. Chrysamoeba
didefinisikan sebagai sel telanjang dengan kecenderungan untuk membentuk lobed
dan bercabang ekstensi. Sel-sel vegetatif yang amoeboid di sebagian besar
sejarah kehidupan; negara mendera terjadi pada beberapa genera dan orang lain
yang pernah diamati. Perbedaan ini digunakan untuk menempatkan organisme mereka
dengan negara mendera di Rhizochrysidae Pascher mantan Reichennau dan
orang-orang di mana tidak ada di Chrysachniaceae (Tekle et al., 2007). Genus Chlamydomyxa : tubuh mulai dari mas diskrit
sitoplasma ke plasmodium
besar membentuk jaringan
pseudopodia luas dan kaku dengan ekstensi filose,
sel tubuh µm panjang, µm lebar, L / W =, x 640
Keberhasilan isolasi alga dipengaruhi oleh
banyak faktor diantaranya komposisi media tumbuh dalam kultur sesuai dengan
nutrien yang dibutuhkan oleh alga. Selain itu, faktor pencahayaan untuk
pertumbuhan alga mempengaruhi tumbuh tidaknya alga.
BAB
3. PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Alga atau ganggang merupakan tumbuhan yang belum memiliki akar, batang, dan daun yang sebenarnya,
tetapi sudah memiliki klorofil sehingga bersifat autotrof. Teknik
kultur yang digunakan yaitu teknik kultur campuran. Kultur campuran dilakukan
dengan menggunakan banyak spesies alga dalam satu medium. Medium yang digunakan
yaitu Pocari Sweat dengan penambahan pupuk NPK. Nitrogen berperan dalam
pembentukan sel, jaringan, dan organ tanaman. Fosfor merupakan komponen
penyusun beberapa enzim, protein, ATP, RNA, dan DNA. Karena medium terlalu
asam, alga tidak bisa tumbuh melainkan fungi. Selanjutnya digunakan media
Pristine, kemudian alga dikulturkan dan diisolasi. Hasil isolasi yaitu
ditemukan Chlamydomyxa lubrynthuloides. Teknik isolasi dilakukan secara mono
culture yaitu diambil satu spesies dari media kultur. Isolasi ini berhasil
karena komposisi media sesuai begitupun faktor yang lain yaitu pencahayaan
dengan lampu TL.
3.2
Saran
Praktikan harus
lebih memahami metode
isolasi alga agar bisa mendapatkan hasil yang diinginkan. Selain itu
juga praktikan harus mengetahui persyaratan
tumbuh alga dalam media buatan. Sehingga kultur dan isolasi alga
dapat mendapatkan hasil yang maksimal.
DAFTAR PUSTAKA
ANDERSON, R.A. 2005.
The Provasoli-Guillard National Center for Culture of Marine Phytoplankton:
Past, Present and Future. In : Algal Culture Collection and the Environment.
(KASAI,F.; K.KAYA and M. WATANABE, Eds.) Tokay Univ. Press: 65-71.
Bold,
H.C, dan Wynne, M.J. 1978. Introduction
To The Algae. New York: Pretice-Hall Mc. Engelwood Cliffs.
Graham,L.E.,
dan L.W.Wilcox. 2000. Algae.New
Jersey: Prentise Hall
Gunawan. 2010. Keragaman
dan Krakterisasi Mikroalga dari Sumber Air Panas Ciwalini yang Berpotensi
sebagai Sumber Biodiesel. BIOSCIENTIAE Volume 7, Nomor
2,32-42
Isnansetyo,
A., dan Kurniastuty. 1995. Teknik Kultur Phytoplankton dan Zooplankton.
Yogyakarta : Kanisius
KASAI. F. 2000.
Collection List of Strains seventh Edition 2000 Microalgae and Protozoa. National
Institute for Environmental Studies : 257 pp.
Panggabean,
L.M.G. 2007. Koleksi Kultur Mikroalga.
Oseana, Volume XXXII, Nomor 2,11-20
Rostini, I. 2007. Kultur
fitoplankton pada skala laboratorium Unpadpress: Bandung.
Sachlan, M. 1982. Planktonologi. Fakultas Peternakan dan Perikanan. Universitas Diponegoro:
Semarang.
Sari, W.E. 2011. Isolasi
dan Identifikasi Mikroalga Cyanophyta dari Tanah Persawahan Kampung Sampora.
Jakarta: UIN Syarif Hidayatulloh
Suwandi, 1992, Isolasi
dan Identifikasi Karaginan Dari Rumput Laut Eucheuma cottonii, Lembaga Penelitian Universitas
Sumatra Utara, Medan.
Wardhana, Wisnu. 2003.
Teknik Sampling, Pengawetan dan Analisis Plankton. Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam.Universitas Indonesia: Jakarta
WATANABE, M.M. and F. KASAI 1985. NIES Collection
List of Strains First Edition 1985 Microalgae. National Institute for
Environmental Studies : 116 pp.
LAMPIRAN
Hasil Pengamatan Alga Epilitik
|
|||||
No
|
Gambar Mikroskop
|
Gambar Literatur
|
|||
1
|
Groenbladia neglecta
|
||||
2
|
Chlorella
sp.
|
||||
3
|
Stauroneis
parvura
|
||||
4
|
Ulothrix
cylindrium
|
||||
5
|
Closterium
moniliferum
|
||||
Hasil Pengamatan Alga Epipitik
|
|||||
No
|
Gambar Mikroskop
|
Gambar Literatur
|
|||
1
|
Ulothrix
zanata
|
||||
2
|
Navicula
vaneii
|
||||
3
|
Geminella
interrupta
|
||||
4
|
Cosmarium
circulare
|
||||
5
|
Melossira
sp.
|
||||
Hasil Pengamatan Alga Epizoik
|
|||||
No
|
Gambar Mikroskop
|
Gambar Literatur
|
|||
1
|
Navicula
vaneii
|
||||
2
|
Pleusira
laevis
|
||||
3
|
Botryococcus
sp.
|
||||
4
|
Coelastrum
cambicum
|
||||
5
|
Melosira
sp.
|
||||
Hasil Pengamatan Air Kolam
|
|||||
No
|
Gambar Mikroskop
|
Gambar Literatur
|
|||
1
|
Eutetramorus gobosus (Hukum)
|
||||
2
|
Sphaerocystis
schoeteri (Ekonomi)
|
||||
3
|
Amphipleura
pellucid
|
||||
4
|
Labocystis
dichotoma Thompson
|
||||
5
|
Protoderma
viride kuetz
|
||||
6
|
Apatococcus
lobatus
|
||||
Mkasiih mbaaak....
BalasHapus